Di sebuah desa ada sebuah kuburan tua makam alim ulama dahulu. Ditempat itu banyak orang berdatangan. Makam itu dijaga oleh seorang mbah tua yang jago silat, sebut saja namanya mbah Surip.
Baru saja di desa itu ada seorang yang baru pulang kampung setelah menimbah ilmu agama di kampung nun jauh disana. Sebut saja namanya Mukidi. Mukidi resah dan gelisah melihat makin banyak orang yang mendatangi kubur itu, diapun mengumpulkan dan memprovokasi teman-temannya yang sepaham dengan dirinya untuk membongkar makam itu, katanya makam itu berpotensi syirik.
Singkat cerita mereka berkumpul dengan membawa palu, linggis, sekop, obeng, gunting kuku, dan powerbank untuk membongkar makam itu. Setibanya disana mereka dihadang oleh mbah Surip si penjaga makam.
Dengan sopannya mba Surip bertanya "Mau ngapain mas-mas yang ganteng nan bau ini, malam-malam gini datang bawa alat kerja bakti?"
"Kami ingin membongkar makam itu, demi menyelamatkan akidah umat, Ga usah halangin kami Mbah Kerempeng...!" kata Mukidi
"Bentar-bentar, saya kurang paham maksudnya". Mba Surip bertanya balik sambil mendekatkan telinganya.
"Makam ini berpotensi Syirik dan bisa merusak akidah umat disini....!!!!!!". Teriak mukidi tepat di lubang hidung mba Surip.
"Oh gitu, tunggu bentar yah, saya ambil pisau dulu", mba Surip kemudian masuk kedalam pondoknya untuk mengambil pisau. Kemudian keluar lagi menantang Mukidi, "Hey kingkong, Kalau mau membongkar makam ini silahkan, yang penting langkahi dulu diriku kalau saya jatuh pingsan saat duel dengan kamu". Mba Surip sepertinya belum mau mati saat itu.
Singkat cerita terjadilah duel antara mba Surip dan Mukidi. Kilatan bunga api biasa muncul saat pisau karatan mbah Surip beradu dengan linggis bengkok mukidi. Mukidi tidak menyangka kalau mba surip bisa sangat gesit berkelahi dengan usia yang tidak lagi muda. Rombongan teman-teman mukidi pun tidak mau kehilangan moment ada yang menyoraki memberi semangat buat mukidi, ada yang sempat-sempatnya taruhan, dan bahkan ada yang merekam live di akun facebook nya.
Mukidi yang sejak awal selalu terpojok memang sangat kewalahan menahan serangan mba Surip. Mbah Surip sangat menikmati duel itu karena selama duel dia masih sempat menyanyikan lagu tak gendong kemana-mana lagu favoritnya yang dinyanyikan oleh penyanyi yang kebetulan sama dengan namanya. Akhirnya linggis Mukidi terjatuh setelah dia mendapatkan tendangan tanpa banyangan masa lalu dari mba Surip tepat di dada kiri dua centi dari tulang rusuk kirinya yang hilang.
Mukidi terjatuh ditanah, Mba surip tidak mau kehilangan moment. Mbah Surip kemudian menarik kelamin mukidi. Mukidi berteriak... "ADUH sakit mbah, ampun lepasin punya saya....!"
"Tenang mas, saya akan menyelamatkan kamu.." Jawab Mba Surip sambil bersiap memotong kelamin Mukidi
"Jangan Mbah.. Ampun... Menyelamatkan apa maksud Mbah..? Mukidi bertanya penasaran sambil menahan sakit karena remasan Mba Surip makin keras.
"Saya mau potong punya kamu, karena bisa merusak iman kamu, punyamu ini berpotensi Zina, ..!"
Mendengar jawaban Mba Surip, semua teman-teman mukidi pada lari pulang sambil memegang kelamin masing-masing.
--------------------------------------------
Bagi yang pernah mendalami ilmu logika, seni berdebat, stand up komedi, atau pernah belajar Bahasa Indonesia pasti paham bahwa kisah diatas secara umum adalah majas Satire, dan juga mengandung majas Ironi, sinisme, dan bahkan Sarkasme, Ini adalah kumpulan majas sindiran.
Tidak bisa dipungkiri, gaya bersosialisasi kita tidak lepas dengan candaan, saling hina, atau bahkan bully. Kadang memang untuk lucu-lucuan untuk saling mengakrabkan. Kalau rasa persaudaraan masih tinggi, dipanggil gendut, krempeng, hitam, botak, monyet pun pasti tidak akan marah.
Coba kalau kita gunakan panggilan-panggilan itu pada orang yang tidak sepaham, sudah jelas kita memanggil mereka dengan hinaan dan penuh amarah. Maka lahirlah panggilan si Cebong, si Kampret, Jokodok, dan yang paling akhir ini panggilan Jendral Kardus yang jelas-jelas menyerang menggunakan majas sarkasme secara person.
Sarkasme memang sangat getir dan mengandung kepahitan bagi yang menerimanya. Majas inilah yang paling rendah nilai moralnya untuk menyindir, yah mungkin satu level lebih tinggilah dari bicara kotor. Sebijak mungkin menghindari menggunakannya, apa lagi menggunakannya untuk menyerang satu kelompok atau person tertentu. Padahal kita bisa mengurangi sedikit kegetiran sindirannya dengan menambahkan majas ironi, atau satire berdampingan dengan sakasme, atau malah tidak menggunakannya sama sekali ketika ingin menyindir.
Paling enak itu lihat acara diskusi atau debat, ILC misalnya. Kita bisa lihat siapa menggunakan majas apa, kalau ada orang yang rajin menggunakan sarkasme, yakinlah dia adalah orang emosian, jarang beribadah, kurang membaca buku atau berkontemplasi, kebanyakan informasi yang dia dapat adalah dari telinga, dan mengolahnya di otak mamalianya, bukan di otak neocortex-nya. Orang yang tenang, rajin beribadah, biasa membaca buku dan berkontemplasi, sebisa mungkin merangkai kata halus namun tajam untuk berpendapat atau menyanggah pendapat.
Atau mungkin saja sejak kecil di rumah mereka sudah terbiasa mendengar majas-majas sarkasme ini dari mulut orang tuanya. Panggilan hey.. anak nakal, anak kurang ajar, anak tidak tau diuntung, anak bodoh, mungkin sering masuk ketelinganya dan mengendap di otak.
Belum terlambat sama-sama belajar menaikkan level sindirin kita hingga level sindiran ironi yang masih lebih halus. Namun kita harus terima kalau kita saat ini berada di era sarkasme, era saling menyindir dengan kegetiran, bukan lagi era berpantun yang santun.
Salam,
Mappe

No comments:

Post a Comment