Tahun 2012 hingga 2013, tercatat kurang lebih 15.000 kasus rubella yang terjadi di Jepang (Ref 1). 43 kasus diantaranya adalah kasus rubella yang menyerang anak bayi sejak dalam kandungan. Kasus ini menjadi booming seketika, dimana di tahun-tahun sebelumnya kasus Rubella berada dibawah angka 50 kasus/pertahun se Jepang.

 
Pemerintah Jepang mengaku kecolongan dari kejadian ini. Pada periode tersebut, 82% yang terserang adalah orang dewasa dengan usia 20-40 tahun, 77% diantaranya yang terserang adalah pria, dan 23% adalah wanita.

.
Mari kita tengok ke belakang sejenak.
.
Di Jepang, gelombang pertama imunisasi Rubella dimulai secara nasional pada tahun 1976 (36 tahun sebelum 2012) hingga tahun 1994 (18 tahun sebelum 2012). Namun sayangnya, pada periode 1976-1994 tersebut, imunisasi campak ini hanya diberikan pada murid wanita saja yang berusia 12-15 tahun (tingkat SMP). Pemberian vaksin pada semua siswa SMP (pria dan wanita) diberikan mulai tahun 1995. Ditahun 1989, MMR diberikan pada anak usia 12-72 bulan. Disinilah letak kecolongannya, yang mengakibatkan 36 - 18 tahun kemudian kasus Rubella di Jepang membludak dan menjadi viral (tapi bukan hoax, hehehe), dan sebagian besar penderitanya adalah Pria.

Akibat dari kasus itu, beberapa negara memberikan travel warning ke warga negaranya untuk berkunjung ke Jepang. Memang sebagian besar kasus ini terjadi di kota-kota yang padat penduduknya seperti Tokyo dan Kyoto. 60% kasus terjadi di Tokyo, kemudian menyebar ke daerah sekitarnya yaitu Kyoto, Osaka, Hyogo, Aichi, Fukuoka, and Kagoshima.
Dilihat dari riwayat pemberian vaksin, 32% pasien memilik riwayat imunasasi dan 68% yang terserang rubella tidak mengetahui riwayat imunisasinya. Dari pasien yang memiliki rekam imunisasi, 82% mengakui tidak mendapatkan vaksin rubella sama sekali. Saya ulangi 82% mengakui tidak mendapatkan imunisasi rubella sama sekali. Dari total penderita, 2% dari penderita pernah mendapatkan imunisasi sebanyak dua kali, sedangkan 6.5% pernah mendapatkan imunisasi satu kali.
Waktu kami mendaftarkan anak kami sekolah TK dan SD di Jepang, kami ditanyai dan diberikan daftar isian mengenai riwayat vaksin dan buktinya. Jika belum dan tidak ada buktinya, maka langsung dirujuk ke klinik terdekat. Kami sampai meminta tolong orang tua di Indonesia untuk mengirimkan buku imunisasi anak kami ke Jepang.
Dari kasus di Jepang ini kita bisa belajar, bahwa kecolongan tidak memberikan imunisasi kepada siswa pria pada tahun 1978-1994 menyebabkan boomingnya kasus Rubella di Jepang pada tahun 2012-2013.
Dari kasus di Jepang ini pula kita bisa melihat secara makro manfaat vaksin rubella yang sangat signifikan.
Mungkin kasus ini bisa menjadi perhatian kita, kita tidak ingin 20 - 30 tahun kedepan kasus yang sama terjadi di Indonesia karena ada jedah waktu dan generasi yang tidak mendapatkan vaksin. Memang belum sekarang tapi mungkin nanti, menyisakan masalah untuk generasi mendatang.
Tapi saya tidak khawatir, karena orang Indonesia banyak yang lucu-lucu. Kelucuan mengakibatkan orang tertawa, dan tertawa memang bisa meningkatkan hormon endorfin yang bisa mengurangi rasa sakit dan meningkatkan daya tahan tubuh. Jadi meskipun tidak mendapatkan vaksin, kelucuannya bisa meningkatkan daya tahan tubuh.
.
Jadi, jangan teralu khawatir teman-teman...!
.
Okayama, 30 Agustus 2018
Mappe
--------------------------------------------------------------------
Ref:
1. Data dari National Institute of Infectious Diseases (NIID) Japan; Tuberculosis and Infectious Diseases Control Division (TIDCD) and , Ministry of Health, Labor and Welfare, Japan (MHLW) : http://www0.nih.go.jp/…/d…/rubella/rubella2014/rube14-09.pdf
2. Nationwide Rubella Epidemic — Japan, 2013 : https://www.cdc.gov/mmwr/preview/mmwrhtml/mm6223a1.htm#tab

No comments:

Post a Comment