Waktu mengikuti konfrens di Amerika bulan lalu saya sempat menonton film Sultan Mahmed Al-Fatih di tivi kamar hotel. Film mengenai kisah perebutan benteng dan kota Konstatinopel yang fenomenal oleh seorang Sultan yang berusia 21 tahun. Jatuhnya kota ini sudah diramal oleh Rasulullah sebelumnya, "Kota Konstantinopel akan jatuh ke tangan Islam. Pemimpin yang menaklukkannya adalah sebaik-baik pemimpin dan pasukan yang berada di bawah komandonya adalah sebaik-baik pasukan."
Kaisar Konstatinopel sangat mengandalkan meriam-meriam yang berderet di bentengnya yang selalu berhasil membuat kocar kacir pasukan yang menyerang bentengnya. Dia juga menyombongkan bahwa dia memiliki pembuat meriam yang sangat hebat untuk menakuti lawannya, Namanya Uban. Uban adalah pembuat meriam yang sangat hebat di Konstatinopel.
Berita mengenai kehebatan Uban si pembuat meriam didengar juga oleh Sultan Al-Fatih, kemudian dia memerintahkan untuk membujuk Uban agar mau bekerja sama dengannya membuat meriam terbesar yang belum pernah ada untuk menjebol tembok benteng konstatinopel. Uban pun berhasil diculik oleh suruhan Al-Fatih dan bersedia bekerjasama karena Uban pun selama ini selalu tidak senang dengan perlakuan kaisar Konstatinopel pada dirinya dan pada putri angkatnya yang juga jago membuat meriam.
Singkat cerita berkat meriam besar buatan Uban dan putrinya, berhasilnya pasukan laut mengangkat dan mendorong perahu mereka melalui daratan untuk menyerang sisi benteng terlemah, ditambah perjuangan pengepungan benteng yang gigih selama 40 hari akhirnya konstatinopel bisa direbut oleh Al-Fatih.
Politik untuk mendapatkan kekuasan memang seperti itu saling adu strategi. Tapi ada yang teralu ribut mengumbar strateginya ada juga yang tenang. Kaisar Konstatinopel teralu berbangga dengan meriam-meriam dan pembuat meriamnya untuk menakut-nakuti musuhnya agar gentar sebelum berperang. Karena teralu ribut akhirnya strateginya ketahuan. Sultan Al-fatih akhirnya tahu dengan cara apa dia akan dilawan, sehingga Sultan Al-Fatih dengan tenangnya mengajak Uban si pembuat meriam untuk bekerja sama.
Setahun, dua tahun, bahkan hingga kini ini kita disajikan dengan adu isu politik untuk membangun opini masyarakat untuk pilpres tahun depan. Berbagai isu dimainkan, Pilkada DKI salah satu contoh dan bisa dijadikan barometer untuk memainkan sentimen isu agama dalam memenangkan Pasangan calon tertentu. Bolehlah kita katakan berhasil, maka layak pula untuk di scale-up dan diulang pada skala pilpres nanti.
Sikap tenang Al-Fatih membaca situasi digunakan juga oleh Jokowi. Mengajak kerjasama seorang Ulama yang disegani untuk berpartner dengannya. Atau dengan kata lain Jokowi telah mengambil jualan atau amunisi lawan politiknya untuk disajikan kepada para pemilih. Oposisi pun yang dari awal sering jualan isu agama ternyata mandul saat menggelar tikar jualannya, tidak ada tokoh yang merepresentatifkan seorang tokoh agama. Pemirsa akhirnya dibuat bingung.
Jokowi mungkin sangat berterima kasih pada pihak oposisi yang telah membangun opini dan berkampanye bahwa Pemimpin kedepan harus orang yang bagus pemahamannya pada agama. Karena Jokowi menyajikan sajian itu sekarang, ah.. dasar pedagang....!!! Paling jago membaca pasar.
Memilih seorang KH Ma'ruf Amin sebagai cawappresnya, menandakan Jokowi ingin merangkul siapa saja yang berseberangan dengannya selama ini, yaitu orang-orang yang selalu menyerangnya dengan isu agama. Lawan tidak harus di lawan, tapi kadang juga harus di ajak. Jika toh mereka tetap tidak memilih apa yg disajikan Jokowi, maka sebenarnya bukan masalah agamalah yg diperjuangkan, tp hanya kebencian pada sosok pribadi Jokowi, dan semuanya pun pada ngeless tingkat dewa-dewi.
Angin yang ribut selalu memberi tahu kemana arahnya, ikuti arusnya jika ingin berlayar, atau lawan arusnya jika ingin terbang. Jangan diam hingga habis terkikis.
Ssttt.. Jangan ribut yah, Mari kita tunggu episode lucu selanjutnya.
Salam,
Mappe

No comments:

Post a Comment