Setelah kemerdekaan, Presiden Soekarno saat itu berpikir SDA jangan dulu di explorasi sebelum SDM nya siap. Soekarno pun memilih ribuan anak-anak bangsa yang pintar-pintar dari Sabang sampai Merauke untuk disekolahkan di segala bidang keluar negeri. Agar negeri ini punya orang-orang ahli yang akan membangun dan mengelolah SDA nya kelak.
Saat terjadi pemberontakan PKI, tergulingnya Soekarno dan dimulainya orde baru menyebabkan sebagian dari mereka harus kehilangan kewarganegaraan, orang tanpa negara. Saat itu mereka harus menandatangani surat pernyataan yang mengutuk presiden Soekarno agar tidak dianggap orang yg pro Soekarno atau pro komunis, apalagi mereka yang sekolah di negara-negara komunis.
Sebagian dari mereka tdk menandatangani surat itu karena berpikir mereka sedang sekolah tdk ada kaitannya dengan politik. Ada juga yang tidak mau pulang karena berpikir jika mereka pulang mereka akan dibunuh atau dipenjarakan. Ada juga yg tanpa pemberitahuan langsung dicabut passportnya hingga menjadi orang yang tidak memikiki negara khususnya yang sekolah di negara2 aliran kiri.
Jumlah mereka ada ribuan, ada yg mendapatkan kewarganegaraan dari negara lain, ada juga yg tetap bertahan hidup dengan status tanpa negaranya. Jika pernah mendengar kisah seorang doktoral Soesilo Toer (adik Pramoedya Ananta Toer) yang menjadi pemulung karena ijazah nya tdk diakui adalah salah satu contohnya. Umumnya mereka yang sekolah di negara-negara "kiri" yg langsung kehilangan kewarganegaraan mereka. Contoh kisahnya pada link ini.
Sangat disayangkan Saat banyaknya modal asing masuk ke Indonesia pada masa orde baru untuk mengeruk SDA, kita hanya jadi penonton saja. Kita belum siap, skill belum dimiliki.
Si jaman Gusdur, mereka ini pernah dipanggil pulang, tp sayang mungkin sudah terlambat, sebagian dari mereka telah beranak cucu disana, sudah sukses dan beberapa telah memegang jabatan penting di negeri orang. Indonesia saat itu secara tidak langsung telah memberikan anak-anak bangsa yang pintar untuk membantu kemajuan negara lain.
Tahun 2030-2040 Indonesia mendapat bonus demografi, lebih dari stengah populasi manusianya adalah orang-orang muda di usia produktif. Banyak negara yang mencapai kemajuannya disaat mereka mendapatkan bonus demografi ini, Jepang, Amerika, Uni Eropa, Korea Selatan, dan Taiwan adalah contohnya. Ini kesempatan kita, momentum kedua setelah kemerdekaan dulu yang direncanakan Soekarno.
Saat ini, ribuan anak-anak muda yang disekolahkan keluar negeri yang dibiayai pemerintah adalah harapan-harapan yang sama diimpikan oleh Soekarno dulu. Diharapkan mereka dapat "mencuri" sebanyak-banyaknya ilmu pengetahuan diluar sana, kembali membangun bangsa. Seperti kata pak Iqbal Djawad, diharapkan mereka bukan hanya belajar DI-sana, tapi harus belajar DARI-sana. Bukan hanya mempelajari ilmu pengetahuannya, tapi juga budaya, etos, membuat jaringan.
Sangat disayangkan ketika mereka pulang, mereka tidak dapat berbuat banyak atau tidak mendapatkan panggung. Sudah saatnya "orang-orang tua" penentu kebijakan saat ini mempersiapkan segala sesuatunya untuk masa-masa bonus demografi itu, bukan hanya sibuk pikirkan pilkada dan pilpres (hehehe).
Infrastruktur sdh harus siap, sistem pendidikan dan kesehatan juga harus siap, agar jika masanya datang pesawat tinggal lepas landas, bukan lagi waktunya habis dipakai membangun landasan hingga membuat pesawatnya delay, apalagi energi anak muda itu dipakai bertengkar. Naudzubillah.
*catatan asal abis tidur siang

No comments:

Post a Comment