Beberapa hari lalu saya memposting sebuah status dengan kesalahan penulisan pada kata husnul khotima. Alhamdulillah saya mendapat banyak kritikan dan masukan mengenai tulisan yang benar. Diskusipun jadi panjang lebar. Alhamdulillah dapat ilmu gratis.
Kemudian di hari berikutnya saya sengaja menulis kesalahan persamaan matematika. Namun hanya secuil yang memberikan kritikan.
Saya bingung, perasaan matematika dipelajari dari SD sampai SMA dengan jam pelajaran yang banyak, sedangkan bahasa arab mungkin hanya beberapa sekolah yang mengajarkannya. Tapi responsif teman-teman saya lebih tinggi pada kesalahan penulisan bahasa arab saya yg ditulis menggunakan huruf romawi dibandingkan persamaan matematika sederhana yang saya buat. Kenapa yah? Disini saya berpikir, animo terhadap bahasa arab ternyata tinggi juga yah.
Menulis di media sosial itu seperti bagaimana kita berbicara sehari-hari. Media sosial bukan koran, bukan text pidato, atau jurnal ilmiah sekalipun. Itulah sebabnya kita permisif dengan berbagai kesalahan penulisan misalnya kesalahan penulisan awalan di-, penggunaan singkatan, typo, ataupun penggunaan istilah lain.
Menulis di Facebook atau di blog itu tidak seperti nulis skripsi yang dikoreksi oleh dosen, bukan juga menulis buku atau nulis di koran yang harus masuk saringan editor dulu. Menulis di medsos itu gaya santainya lebih dahsyat dari penulisan populer. Selama maknanya sampai tidak masalah. Jika maknanya tidak sampai, kesalahan mungkin ada pada anda yang kurang piknik, atau kesalahan pada yang buat tulisan karena teralu tinggi daya khayalnya, atau kebalikannya mungkin teralu bodoh.
Kemudian adab mengkritik juga jadi perhatian saya. Ada juga teman yang mengkritik kesalahan penulisan saya melalui chat. Ternyata ada juga teman-teman saya yg tidak mau memperlihatkan kebodohan saya didepan umum. Bukan berarti saya tidak menyukai kritikan di komentar, selama itu benar dan baik InsyaAllah saya pasti terima, karena dari diskusi pasti akan dapat ilmu baru.
Tapi yang jelas tidak semua orang akan terbuka dan suka dikritik. Sebenarnya awal dari perdebatan-perdebatan di medsos itu yah dari sini, tidak ada yang mau dianggap salah. Kita sangat jarang mengunakan fasilitas chat pribadi untuk menanyakan, mengklarifikasi, mengoreksi atau berdiskusi langsung dengan santai pada kesalahan pikiran, penulisan atau perhitungan si pembuat status jika menurut kita itu sangat personal atau sensitif untuk dikoreksi. Kenapa? Yah karena kita ingin dianggap sama atau lebih jago juga dimata komentator-komentator yang lain. hehehehe
Adab yang lain yang jarang kita perhatikan juga adalah tidak mengakui atau mengapresiasi hal yang benar terlebih dahulu kemudian memberikan kritikan kita diakhir penyataan. Pokoknya to the point, ada kesalahan langsung buat framing, serang..! Gitu khan cara kerja kuno para provokator murahan di media sosial? Jadi buat orang yang selalu gitu kemungkinan sehari-hari dia rajin mengkonsumsi provokasi-provokasi seperti itu, atau mungkin dia salah satu pelakunya? Hihihihihi.
Dalam metode pembelajaran andragogi, atau pendidikan orang dewasa, kita harus paham bahwa tiap orang dewasa itu selalu punya pendapat yang tidak ingin disalahkan. Jadi selalulah berhati-hati dan sesopan mungkin memperbaikinya. Sebaiknya sebelum menyanggah lihat dulu ciri-ciri kedewasaannya, apakah dia sudah berbulu atau tidak. Hahahaha.

Yuk sama-sama belajar lagi menjadi sopan.

Selamat Puasa

Mappe.

No comments:

Post a Comment