Salah satu pertanyaan populer bagi anak rantau atau orng yang berasal dari makassar yaitu "kok mahasiswa di Makassar hobi betul tawuran?". Bagi kami para duta-duta tidak resmi Makassar harus siap dengan pertanyaan top list tetang makassar, yaitu Pantai Losari, Transtudio, Makanan tradisionalnya, dan Tawuran mahasiswanya. Mulai dari tukang parkir sampai seorang Prof dosen saya selalu menanyakan 2-3 pertanyaan tersebut, dan masalah tawuran yang tidak pernah tidak dipertanyakan.

Banyak jawaban ngawur yang sering diberikan untuk menjawab pertanyaan itu "begitulah mahasiswa Makassar yang memiliki energi yang meluap-luap", biasa juga dijawab"mahasiswa dari Makassar selama kuliah telah ditempa beberapa ujian, mulai dari ujian tengah semester, ujian akhir semester, ujian sidang, dan UJI NYALI, jadi tidak diragukan lagi kalau mahasiswa dari makassar itu SIAP PAKAI" ada juga yang menjawab "tawuran itu adalah kalender akademik dengan nilai 3 SKS". hahaha... kalau orng Sumatra dan Betawi pandai bersilat lidah lewat pantun, sy liat orng Makassar sangat pandai bersilat lidah lewat joke yang ngeless. (tanpa ada maksud untuk menyinggung SARA, saya ingin mengutip beberapa kepanjangan nama daerah di Indonesia yang pernah saya baca di milis yang saya ikuti. Jawa "Jago wayang", Sunda "Suka makan daun", Padang "Pandai berdagang", Makassar "Manusia kasar".. hehehe.. sekali lagi ini hanya joke).

Kemudian pertanyaaanya.. malukah kami? yah kami sangat malu.. kami hanya mampu menutupi malu kami dengan joke murahan semacam itu.

========================================
Udang dibalik batu tawuran
Di tahun 1992 terjadi tawuran yang mengakibatkan terjadinya pembakaran gedung laboratorium Fakultas Teknik Unhas. Isu ini kemudian dihubungkan dengan situasi politik saat itu yaitu pemilihan Gubernur Sulsel. Pada pemilihan Gubernur saat itu rektor Unhas Prof. Basri Hasanuddin menjadi calon Gubernur Sulsel. Kejadian itu menjatuhkan citra dari Prof Basri karena ada image bahwa untuk mengurus kampus saja tidak becus, apalagi mau mengurus suatu provinsi. 

Waktu pemilihan ketua Umum Partai Demokrat kemarin ada juga yang sempat menganalisa bahwa kejadian pengrusakan gedung rektorat ada hubungannya dengan pencalonan AM sebagai calon Ketum Partai Demokrat.. ah.. saya kira ini analisa yang berlebihan.

Sempat heran juga ketika menjadi mahasiswa baru dulu, salah satu kebanggaan dan kehebatan yang selalu diceritakan oleh senior yaitu saat mereka mengikuti tawuran tanpa menjelaskan bahwa itu adalah kesalahan sejarah yang tidak patut dicontoh. Dulu saya punya seorang tetangga anggota veteran yang kakinya pernah terkena granat, dia sering menceritakan kehebatannya waktu perang dulu, dan saya ikut bangga mendengarnya, jiwa muda saya ikut terbakar karena kisah-kisah heroiknya, tapi ketika mendengar cerita senior-senior saya kok saya jadi miris, aneh dan saya mencium bau primitif. 

Ada yang unik dari kejadian tawuran di Unhas, saya dan teman-teman pernah berdiskusi mengenai tawuran yang sering terjadi. Kadang memang masalahnya sepele, kalau bukan masalah cewek, masalah kalah dalam pertandingan bola, saling ejek, atau salah seorang junior yang dipukul kemudian berkembang dan menyulut api solidaritas negatif yang kemudian beramai-ramai menyerbu fakultas lain. Kadang masalah ini terjadi setelah musim ujian tengah semester atau setelah ujian akhir semester. Pada saat tawuran pun mereka memang betul-betul saling melempar batu, saling kejar-kejaran, merusak bangunan kampus, saling menghunuskan parang, badik atau kayu. Tetapi setelah mereka tawuran, -saat kembali kepondokan (Kos-kosan)- mereka akrab kembali, mereka saling berbagi cerita kejadian waktu tawuran tadi, mereka bermain bola bersama lagi, padahal beberapa jam lalu mereka adalah dua kubu yang bertikai. Jadi ada yang berseloroh bahwa dengan tawuran, mereka dapat melepaskan stress akibat beban tugas kuliah, penelitian atau penyusunan tugas akhir mereka.

Banyak hal yang membuat tumbuh suburnya tawuran, tekanan perkuliahan, ruang ativitas organisasi kemahasiswaan yang semakin dibatasi, dan kadang arogansi dan otoriter dari pengajar menjadikan penyebab utama tingkat stress mahasiswa yang kadang diluapkan melalui tawuran (setidaknya masih lebih bagus tawuran daripada bunuh diri.. hehehe). Karakter orang sulawesi yang memang keras, memiliki budaya siri na pacce*) merupakan salah satu katalisator lain jika dilihat dari sisi budaya. Tertutupnya keran komunikasi antara mahasiswa dan pengajar, serta arogansi antar disiplin ilmu pengetahuan adalah penyebab lainya.


*)"Siri’ adalah rasa malu yang terurai dalam dimensi-dimensi harkat dan martabat manusia, rasa dendam ( dalam hal-hal yang berkaitan dengan kerangka pemulihan harga diri yang dipermalukan ). Jadi Siri’ adalah sesuatu yang tabu bagi masyarakat Bugis-Makassar dalam interaksi dengan orang lain. Sedangkan pacce/pesse merupakan konsep yang membuat suku ini mampu menjaga solidaritas kelompok dan mampu bertahan di perantauan serta disegani. Pacce/pesse merupakan sifat belas kasih dan perasaan menanggung beban dan penderitaan orang lain, meskipun berlainan suku dan ras. Jadi, kalau pepatah Indonesia mengatakan “ Ringan sama dijinjing, berat sama dipikul ”. Itulah salah satu aplikasi dari kata pacce/pesse, jadi Siri’ skopnya dalam skala intern, sedang pacce/pesse bersifat intern dan ekstern, sehingga berlaku untuk semua orang.

Dengan adanya falsafah dan ideologi Siri’ na pacce/pesse, maka keterikatan dan kesetiakawanan di antara mereka mejadi kuat, baik sesama suku maupun dengan suku yang lain.Konsep Siri’ na Pacce/pesse bukan hanya di kenal oleh kedua suku ini, tetapi juga suku-suku lain yang menghuni daratan Sulawesi, seperti Mandar dan Tator. Hanya saja kosa katanya yang berbeda, tapi ideologi dan falsafahnya memiliki kesamaan dalam berinterasi. (http://vinderscout.wordpress.com/2009/04/04/siri%E2%80%99-na-pacce/)"


Dalam budaya Jepang siri na pacce hampir sama dengan budaya Bushido pada zaman Kamakura hingga zaman Edo, yang mengajarkan kesetiaan, keadilan, rasa malu, tata-krama, kemurnian, kesederhanaan, kehormatan dll.

Namun pertikaian atau perkelahian bukan satu-satunya cara penyesaian masalah mengenai siri, terkenal juga cara penyelesaian 3 ujung (ujung lidah, ujung keris, dan ujung "itu"), ada juga budaya lain yang sering digunakan dalam menyelesaikan atau menghindari masalah yaitu sipakatau (bahwa setiap manusia itu ingin diperlakukan sebagai manusia seutuhnya), sipakalebbi (bahwa setiap manusia ingin dipuji diperlakukan baik dan selayaknya), dan sipakainge(bahwa tiap manusia itu memiliki kekurangan dan harus saling memahami)

Orang Bugis-Makassar terbiasa mengekspresikan sikapnya secara terbuka, tanpa ditutup-tutupi. kalau suka ya suka. kalau gak suka ya gak suka. mereka sangat terbuka pada siapapun. satu hal yang saya kagumi dari mereka adalah solidaritas yang sangat tinggi kepada teman. sekali anda menjadi temannya, maka ia akan siap membela anda sampai ke titik darah penghabisan, tak peduli, apakah anda salah atau benar. tapi sekali anda jahat pada mereka, maka mereka bisa lebih jahat dari anda (Yusran Darmawan)

Penggalian dan pemahaman budaya inilah yang harus diperkuat sebagai kearifan lokal dalam mengatasi masalah seperti ini


Memang tidak mudah menghilangkan tawuran di kalangan mahasiswa. Kesalahan tidak semuanya ada pada mahasiswanya, namun semua yang ada dalam kampus itu. Para dosen sebenarnya punya andil yang sangat besar bagaimana mengajarkan mereka cara menyelesaikan masalah yang lebih elegan. Sikap otoriter pengajar sudah seharusnya diubah menjadi egaliter. Tanggung jawab ini bukan hanya dibebankan kepada para dosen pembina mahasiswa yang jumlahnya hanya satu orng untuk tiap jurusan yang mahasiswanya ratusan.

Arogansi Ilmu pengetahuan dipupuk sejak mahasiswa masuk di Universitas. Pemikiran yang sangat sempit telah ditanamkan bahwa ada ilmu pengetahuan yang lebih superior, yang lebih hebat dibandingkan dengan ilmu lainnya. Kuliah di salah satu disiplin ilmu selalu identik dengan kehebatan jika dibandingkan dengan disiplin ilmu lainnya. Mahasiswa baru tidak diajarkan bahwa Ilmu pengetahuan itu sama hebatnya dengan ilmu pengetahuan lainnya, satu sama lainnya berhubungan dan saling mengisi kekosongan jika akan diimplementasikan kepada masyarakat. Inilah salah satu dampak jika mahasiswa tidak dibekali filsafat ilmu saat berkenalan dengan universitas. Akibatnya sejak menjadi mahasiswa baru mereka telah diajarkan jargon-jargon arogansi yang sangat gampang menyala menjadi api yang besar jika bergesekan dengan jargon arogansi lainnya.

Peran Alumni
Jika saatnya terjadi tawuran lagi di Unhas. Sudah jelas para alumni akan dibuat keriting lagi bulu telinganya dengan pertanyaan-pertanyaan mengenai kelakuan juniornya. Bahkan sangat ironi, kadang pihak HRD perusahaan langsung menyisihkan berkas lamaran dari para lulusan mahasiswa makassar karna di kepala mereka telah tertanam bahwa mahasiswa lulusan universitas Makassar itu tukang rusuh dan bikin onar. 

Bagi sebagian besar mahasiswa sangat menghormati senior dan alumni mereka, bahkan kadang ada beberapa alumni yang sangat kharismatik sangat dikultuskan oleh junior mereka. Sudah saatnya para senior dan alumni ini turun gunung untuk sama-sama menghapus dosa-dosa dokrinasi yang negatif yang diturun-temurunkan kepada junior-junior kita. 

Media yang lebay
Bagi para wisatawan lokal yang berkunjung ke makasssar, Sari Markisa atau Minyak Gosok Cap Tawon merupakan oleh-oleh khas dari Makassar. Namun bagi para wartawan oleh-oleh khas mereka dari makassar yaitu berita tawuran mahasiswa. Kami pun yang kadang mengetahui jalan cerita dan keadaaan tawuran tersebut dibuat geleng-geleng kepala menyimak beritanya. Suasana seluruh kampus digambarkan sangat mencekam, bahkan gambar para ratusan mahasiswa yang lagi antri berdesakan mengambil formulir pendaftaran dihubung-hubungkan dengan suasana demonstrasi, padahal demonstrasi sebenarnya hanya puluhan orng saja. Kadang gambar yang ditampilkan seolah-olah satu kampus lagi kacau, padahal orang yang lagi asik pacaran di danau Unhas tidak mengetahui kalau telah terjadi demo atau tawuran.

Yah begitulah media yang kadang tidak berimbang dan melebih-lebihkan (lebay) dalam menyampaikan berita. Media memang selalu menyediakan ruang hak jawab jika ada berita yang dirasa kurang sreg, namun itupun tidak dingkat sehebat berita utamanya. Ketika ada acara yang berbau akademik seperti seminar, pertandingan olahraga, pengukuhan guru besar, dll mereka sangat enggan datang. Menangnya tim robotik unhas dalam lomba skala nasional juga tidak pernah diangkat oleh mereka. (zaman sekarang memang jamannya menonton berita yang mengacak-acak emosi kita).

========================================
Ini memang PR bagi kita semua, ini keping-keping kenyataan anak bangsa yang sampai saat ini masih saja mencari jati dirinya karena melupakan dan salah mengartikan budayanya... 

bukan kah kampus unhas kita indah...

No comments:

Post a Comment