Indonesia adalah pengguna Facebook peringkat ke-4 di dunia, peringkat ke-3 pengguna Twitter, dan memiliki 60 juta user Whatsapp. Orang indonesia termasuk JUARA dalam hal ber-sosial media. Hastag berbahasa Indonesia selalu jd trending topik di Twitter, hingga orang luar negeri penasaran. Bagus juga sih sebagai promosi bahasa Indonesia.
Memang sudah pembawaan diri orang orang Indonesia yang suka bersosialisasi, suka bergaul, suka ngobrol, kepo, bergosip, dan narsis, jadi applikasi-applikasi yang bisa memfasilitasi hal itu pasti laris manis, hehehe.
Makanya banyak orang yang suka berteman dengan orang Indonesia, katanya kita ini sombere (bahasa makassar yg artinya suka ngobrol, terbuka, dan mudah bergaul), kalau ngumpul pasti heboh, suka ketawa (lebih tepatnya suka menertawai), dan ramah. Sifat-sifat inilah yang terbawa hingga ke dunia sosial media.
Ributnya sosmed kita sama ributnya dengan debat kusir di warung kopi, komentar-komentar di streaming pertandingan sepak bola sama ributnya saat nonton bareng di tivi tetangga, dan gosip-gosip di group Whatsapp arisan ibu-ibu nya tidak kalah heboh saat mereka ngumpul di cafe menggunakan seragam.
Saya mencoba mencari tahu sejauh mana kesiapan Indonesia dan penduduknya menghadapi era digital ini. Meskipun kita selalu masuk juara 5 besar sebagai pengguna terbanyak dan teribut di media sosial tapi sayang The Inclusive Internet Index meletakkan Indonesia  di peringkat ke-49 dari 86 negara yang di lihat dari kesiapannya berInternet.
Parameter yang digunakan yaitu kualitas dan infrastruktur internet (Availability); harga dan keterjangkauan (Affordability); konten (Relevance); dan kapasitas untuk mengakses internet seperti skil berinternet, regulasi, dan penerimaan budaya (Readiness).
Literasi atau kemampuan untuk mengakses, mengerti, dan menganalisa adalah salah satu sub-parameter Readiness yang digunakan untuk mengukur kesiapan berinternet, posisi Indonesia berada di ranking 52. Posisinya jauh di bawah nilai tengah.
Rendahnya kemampuan literasi digital inilah yang menyebabkan  fitnah dan hoax dengan mudahnya tersebar bagaikan bau kentut di ruangan ber-AC, bikin gaduh dan menggangu orang yang sedang bekerja.
Bersyukur setidaknya Indonesia telah memiliki Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) yang setidaknya bisa mengatur batasan-batasan berinteraksi dan berkomunikasi di internet. Alangkah indahnya lagi jika masyarakat juga melek pada literasi digital.
The Partnership for 21st Century Learning (P21), yang concern terhadap metode pengajaran di abad 21 juga memasukkan literasi digital sebagai salah satu skill yang harus dimiliki manusia jaman now agar kita bisa memanfaatkan dan memvalidasi informasi yang kita terima dengan benar dan juga paham pada aspek etik dan legalitasnya. Sayangnya tidak semua sekolah memiliki spesifik kurikulum yang membahas mengenai literasi digital, padahal kita berada di era digital dan harus mempersiapkan generasi kita untuk itu.
Situasi ini dipahami betul oleh mereka yang suka menyebar fitnah dan hoax. Konten yang mereka buat di ramu sedemikian dramatisnya seolah-olah berita dan data yang disajikan adalah benar adanya. Mereka bukan orang-orang bodoh, mereka orang-orang pintar yang mampu memanfaatkan situasi dan menggiring opini sesuai dengan kepentingannya.
Kalau saja opini dan isu yang mereka buat baik untuk kemaslahatan yah tidak masalah, misalnya provokasi untuk kegiatan sosial. Yang masalah jika opini yang mereka buat untuk memecah belah, membuat kekhawatiran dan kegaduhan.
Mereka adalah orang-orang pintar yang bukan tidak mampu membuat sebuah tulisan essai atau konten yang kritis menggelitik, namun konten seperti itu pastilah tidak laku untuk di share oleh awam apalagi kaum bigot, atau juga orang-orang yang ingin tampil keren, paling ingin dikatakan up to date tanpa saring langsung share.
Ketika seseorang menjadi pintar pilihannya ada dua, dia bisa membuat orang lain ikut menjadi pintar atau membuat orang lain menjadi bodoh. Tapi pada saat dia menjadi bodoh, pilihannya hanya satu, dia hanya membuat orang lain menjadi bodoh juga.
Seperti itulah yang terjadi dari orang-orang yang membuat dan menyebarkan fitnah atau hoax. Pembuat fitnah atau hoax bisa jadi adalah orang pintar atau orang bodoh, tapi yang menyebarkan dan ikut percaya tanpa cross check sudah jelas pada saat itu dia adalah orang _ _ _ _ _. (silahkan isi sendiri).
Okayama, 1 Maret 2018
Salam,
Mappe.
Refer: https://theinclusiveinternet.eiu.com/simulator/countries/ID/availability/usage
http://www.ksbe.edu/_assets/spi/pdfs/21_century_skills_full.pdf
http://www.p21.org/

No comments:

Post a Comment