sumber foto: micecartoon.com

Ujian Nasional untuk SMA tahun ini telah berakhir. Tahun ini adalah tahun keempat saya melakukan pengawasan pelaksanaan UN di SMA yang ada di daerah. Tidak ada yang berbeda dari tahun-tahun sebelumnya kecuali hal-hal teknis. Saya tidak ingin menulis mengenai kekacauan UN tahun ini yang betul-betul menjadi the real  UJIAN secara NASIONAL, krn saya rasa tulisan mengenai hal itu sudah sangat banyak. Tulisan ini hanya catatan ringan mengenai pengalaman selama bertugas menjadi seorang pemantau UN

Tahun ini saya mendapat tugas untuk melakukan pemantauan pelaksanaan UN di Salah satu Sekolah swasta di Kabupaten Soppeng Sulsel, SMA Swasta Calio. Tahun lalu saya mendapat tugas melakukan pengawasan di Kab. Bone, dua tahun lalu saya mendapat tugas untuk mengawas di Kab. Bulukumba, dan 6 tahun yg lalu di Kab. Tana Toraja. Jika dilihat dari SK, kami adalah pengawas pelaksanaan UN di sekolah, namun tugas utama yang sebenarnya yaitu melakukan pemantauan saja dan melaporkan hasilnya.

Ada banyak pengalaman yang menarik, ketika kami datang dan diperkenalkan dengan kepala sekolah tempat kami akan melakukan pengawasan, kami selalu mendapat sambutan yang hangat dari mereka. kami dianggap sebagai tamu dari jauh, saudara sebangsa tanah air yang baru ketemu dan sama-sama memiliki tujuan mulia untuk mencicil hutang pada negara ini, yaitu hutang untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Perkenalan singkatpun dimulai dengan pertanyan-pertanyaan standar seperti nama, dari fakultas mana?, sudah nikah atau belum? dan sebuah pertanyaan umum ketika baru mengenal orang yang baru yaitu "kamu kenal dengan si ini?, si itu?, bapak ini?, ibu ini?". saya menduga pertanyaan yang terakhir itu untuk berusaha mencari tahu apakah kita ini ada hubungan keluarga?, atau untuk sekedar membuktikan teori bahwa dunia ini memang hanya selebar daun kelor.

Melalui beberapa Bapak Kepala Sekolah saya juga mendengar keluh kesah mereka sebagai guru di daerah, keterbatasan sumber daya manusia dan keterbatasan sarana dan prasarana. Belum semua sekolah memiliki bangunan yang layak atau nyaman untuk pelaksanaan proses belajar mengajar, dan kualitas pengajar juga pasti jauh berbeda dengan yang ada di kota. Namun, mereka punya peliharaan yang tidak pernah mati, mereka memelihara semangat untuk terus memberikan yang terbaik.

Tidak semua guru yang ada di sekolah-sekolah di daerah berstatus PNS, sebagian besar masih berstatus honorer, misalnya di sekolah tempat saya mengawas tahun ini dari belasan jumlah guru yang ada, hanya tiga orang yang berstatus PNS, sisanya masih honorer yang dibayar perjam dari mata pelajaran yang diajarkan. jika saya hitung-hitung tiap bulan honor yang mereka dapatkan tidak mencapai angka 1 juta, itupun dibayarkan kadang tiap 3 bulan atau tiap semester. Mereka di tuntut untuk memberikan yang terbaik bagi anak didik mereka untuk kebaikan negara ini kedepan, sedangkan yang mereka dapatkan sendiri bukan yang terbaik dari negara ini. Maka tidak heran jika masih ada guru yang nyambi menjadi pemulung, penjual bakso atau tukang parkir. Salah seorang guru di sekolah tempat saya mengawas ada yang menjadi seorang penjual kue, dan dia sempat berkelakar jika jadi guru itu adalah kerjaan sampingnya, sedangkan menjual kue itu adalah kerjaan utamanya. hehehe.. Untuk guru yang telah menerima sertifikasi, pembayaran sertifikasi merekapun tidak lancar, pengakuan bapak kepala sekolah tempat saya mengawas tahun ini untuk Kab. Soppeng dana sertifikasi guru belum mereka terima selama enam bulan.

Fasilitas sekolah juga menjadi salah satu topik pembicaraan dengan bapak kepala sekolah, mereka bersyukur sejak di gulirkan dana BOS beberapa sekolah yg telah beroperasi selama puluhan tahun telah memiliki gedung yang baru, sebelumnya ruang kelas mereka sangat minim sehingga ada shift antara siswa kelas 1, 2 dan 3, bahkan ada beberapa sekolah yang proses belajar mengajarnya masih juga menumpang di sekolah lain. Jangankan sekolah yang ada di desa, beberapa sekolah yang ada di pinggiran kota pun masih memiliki ruang belajar yang belum layak. Waktu saya menjadi relawan di Kelas Inspirasi Makassar, kami kaget bahwa beberapa SD yang ada di kota makassar masih memiliki tempat belajar yang jauh dari kata layak dan masih terkesan kumuh, itu sekolah yg berada di kota apalagi yang ada di pedalaman.

Alasan minimnya fasilitas dan kemampuan sumber daya manusia yang masih rendah kadang dijadikan alasan pembenaran untuk melakukan kecurangan UN di tingkat sekolah, salah satu legitimasi mereka karena sangatlah tidak adil jika siswa yang ada di daerah yang memiliki fasilitas yg lebih minim dibandingkan di kota  diujikan dengan soal yang sama saat UN, bahkan salah satu kepala sekolah yg pernah sy tempati bertugas pernah meminta langsung secara halus kepada saya untuk dapat mengecek kembali jawaban dari siswa yang telah diisi pada lembar jawaban. Hal ini bukan rahasia umum lagi jika beberapa oknum guru melakukan koreksi jawaban terhadap lembar jawaban siswanya entah itu dilakukan di sekolah atau saat perjalanan mengantar Lembar Jawaban dari sekolah ke kantor Dinas Pendidikan lembar jawaban dibawa ke suatu tempat untuk dilakukan perbaikan jawaban.

Sumber foto : zieak.com

Tiap sekolah  ingin memiliki citra yang baik dimana salah satu indikatornya yaitu tingkat kelulusan siswa, demikian pula dari tingkat kabupaten/kota mereka tidak ingin di cap sebagai kabupaten/kota yang memiliki tingkat kelulusan yang rendah. jadi segala cara pun dilakukan untuk meminimalisir ketidak-lulusan siswanya, secara tidak langsung mereka menjadi budak dari sistem yang ada. Bagi sekolah-sekolah swasta yang pendapatan terbesar untuk membiayai operasional sekolah berasal dari SPP siswa, kepopuleran sekolah mereka akan menurun jika banyak siswa yang tidak lulus dari sekolah itu dan pastinya akan berdampak pada turunnya siswa pelamar di sekolah tersebut yang berarti turunnya pendapatan sekolah tersebut.

Mungkin hal seperti inilah yang mendasari kenapa tahun ini jenis soal yang ada terdapat 30 jenis soal dari tiap mata pelajaran yang ujikan, dan tiap soal tersebut tidak diketahui kode soalnya. Saya semakin percaya bahwa negara yang korup itu adalah negara yang memiliki banyak peraturan. Tingkat kepercayaan sudah semakin rendah, karena kepercayaan sebelumnya yang diberikan telah dikhianati.

Angka kelulusan telah berubah menjadi dewa yang harus disembah dan semua orang yang menjadi pengikutnya telah menjadi budak, mereka mau melakukan apa saja untuk mencapai dewanya, laksana seorang sufi yang rela melepaskan hal dunianya untuk mencapai Tuhannya. Jika saja ketidak lulusan bukan menjadi sesuatu hal yang harus dibesarkan2 melainkan diubah menjadi kesadaran bahwa hal itu adalah tidak maksimalnya usaha dalam belajar, maka tidak ada lagi siswa yang mencari dan membeli kunci jawaban, tidak ada lagi oknum guru yang mengubah jawaban siswanya, dan mungkin tidak ada lagi 30 jenis soal untuk tiap UN. Namun kembali lagi bahwa kesadaran adalah sesuatu yang tidak memiliki nilai, alat pengukur atau satuannya, sedangkan kelulusan adalah sesuat yang telah memiliki nilai, memiliki alat ukur dan satuan, dan kita tidak hidup di alam malaikut yg dapat menilai kesadaran, kita hidup di dunia kasat mata yang lebih memercayai sesuatu yg berwujud Angka... Angka Kelulusan.

Makassar, 24 April 2013
salam,
Februadi

No comments:

Post a Comment